Bagaimanakah kondisi murid Indonesia hari ini? Sudah siapkah mereka menjadi generasi emas atau kita yang menjadikannya generasi “(c) emas”?
Seperti yang kita pahami bahwa tujuan utama pendidikan bukan sekedar mengejar angka atau peringkat di atas kertas, melainkan membentuk manusia yang bernilai bagi dirinya sendiri dan lingkungannya.
Nilai akademis hanyalah salah satu indikator, bukan tolok ukur utama keberhasilan seseorang. Terlalu banyak orang terjebak pada obsesi mendapatkan nilai sempurna, hingga lupa bahwa kecerdasan sejati tercermin dalam budi pekerti dan prilaku yang baik yang ditunjang oleh kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan bermanfaat bagi orang lain.
Apabila pendidikan hanya dijadikan sarana untuk mengoleksi sertifikat atau nilai?, maka sekolah kehilangan ruhnya sebagai tempat menumbuhkan manusia seutuhnya. Sekolah seharusnya menanamkan rasa ingin tahu mendalam kepada murid, membentuk karakter santun, dan menumbuhkan integritas. Orang yang cerdas di atas kertas belum tentu mampu menghadapi kompleksitas hidup jika tidak memiliki keberanian, kejujuran, dan kepekaan sosial.
Maka dari itu, pendidikan harus berfokus pada pengembangan manusia seutuhnya yang memiliki kecerdasan akal dan jiwa, bukan sekedar pencetak angka di atas kertas rapor dan ijazah.
Lebih jauh lagi, pendidikan “menjadi bernilai” adalah bagaimana ilmu yang diperoleh murid bisa memberi manfaat bagi orang di sekitarnnya.
Seorang murid yang bernilai bukan hanya pandai memecahkan soal ujian, melainkan mampu memecahkan masalah nyata dalam masyarakat. Sekolah yang baik adalah sekolah yang tidak hanya mendidik murid untuk menjadi pintar, tetapi juga untuk menjadi manusia yang berkarakter baik, peduli, dan siap menghadapi tantangan dunia dengan penuh integritas.
Ketika di sekolah sedang berupaya menumbuhkan murid berkarakter baik, berbudi pekerti luhur, di situlah dilema terjadi. Terkadang pihak sekolah seperti memakan buah simalakama. Ditegakkan aturan disalahkan. Tidak ditegakkan lebih salah lagi.