Dalam dunia Islam, mencari ilmu pengetahuan merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Bahkan, dijanjikan bagi orang-orang yang menguasai ilmu pengetahuan dan beriman hanya kepada Allah SWT, akan diangkat derajatnya di sisi Allah SWT, sesuai janji-Nya dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadalah ayat 11.

BIONARASI
Tsaqif Maulana, senang dipanggil dengan nama Tsaqif. Kelahiran Bukittinggi pada tanggal 22 September 2007. Sekarang sedang belajar di SMAN 1 Bukittinggi kelas XII F3. Selain aktif di organisasi Forum Studi Islam dan kajian-kajian, juga gemar mengikuti berbagai perlombaan akademik. Dan memulai kegemaran menulis artikel dan cerpen. Bisa dihubungi melalui email [email protected].
Tidak itu saja, Islam tidak membatasi pada satu gender saja, baik muslim laki-laki maupun perempuan wajib hukumnya untuk memiliki ilmu pengetahuan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam dari waktu ke waktu menorehkan jejak emas melalui perangkat canggih pada masanya. Salah satunya adalah astrolab, hasil karya seorang ilmuwan wanita muslim bernama Maryam Al Ijliya atau terkenal dengan nama Maryam Al-Asturlabiyyah pada abad ke-10 M.
Astrolab adalah alat astronomi yang digunakan untuk mengukur posisi bintang, matahari, dan planet, serta menentukan waktu, arah, dan lokasi geografis, serta ketinggian gunung. Penemuan ini sangat penting dalam perkembangan astronomi, navigasi, dan ilmu pengetahuan Islam.
Alat ini bukan sekadar instrumen navigasi, tetapi simbol perpaduan harmonis antara ilmu pengetahuan, kebutuhan praktis, dan ketaatan spiritual dalam menentukan arah kiblat dan waktu salat.
Kini, ribuan tahun kemudian, kita berada di tengah revolusi yang digerakkan oleh “algoritma”. Jika astrolab adalah wujud kecerdasan mekanis, maka algoritma adalah otak dari dunia digital yang mengendalikan arus informasi, ekonomi, hingga interaksi sosial kita.
Peralihan dari astrolab ke algoritma ini menghadirkan sebuah pertanyaan mendesak, yaitu: mampukah kerangka etika Islam yang sama, yang dulu memandu para ilmuwan Muslim, tetap relevan untuk menjaga moralitas di tengah gempuran revolusi digital?
Warisan Zaman Keemasan Islam adalah bukti nyata bahwa iman dan nalar tidak harus bertentangan. Para cendekiawan, seperti Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan Al-Biruni tidak melihat ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang terpisah dari keimanan. Sebaliknya, riset ilmiah dipandang sebagai jalan untuk memahami kebesaran ciptaan Allah.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an Surat Ar-Rahman ayat 33: “Wahai segenap jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya, kecuali dengan kekuatan (dari Allah).”






