Malam itu, di tahun 1791, adalah malam penentuan. Mangkubumi Dirgantara dari Kasunanan Surakarta menatap ke eman wajah di depannya, rakyat-rakyat elit yang adil dan muak, menanti dengan mata tegang dan bersinar dari pantulan pelita minyak.
Penulis: Purnama Ananda (Siswa SMP Negeri 2 Bukittinggi, Sumatera Barat)
PROFIL PENULIS
Nama saya Manika Celesta, seorang pelajar di SMPN 2 Bukittinggi. Saya gemar menulis dan juga aktif di berbagai kegiatan lainnya. Hal yabg paling menyenangkan bagi saya untuk lakukan adalah membaca dengan kritis, karena dengan itu, apapun bukunya, pasti akan mendapatkan ilmu pengetahuan baru.
Ia menghela nafas panjang, seolah ingin menyatakan hal penting. Namun, itu jauh terlalu serius untuk Dirga.
“Aku sungguh minta maaf, tapi aku benar-benar butuh Jamu,” katanya, mengusap matanya dengan punggung tangan.
“Gusti! Mataku berat sekali. Bagaimana bisa kita menggulingkan Kongsi Dagang jika pemimpinnya tertidur?”
Astra, tangan kanannya, menghembuskan nafas dengan keras. “Dirga, ini revolusi, bukan pasar malam! Tak ada yang menjual jamu di jam seperti ini.”
Dirga bergumam. Ia bersandar ke belakang dengan dramatis. Sayangnya ia lupa, kursi kayu kecil tempat ia duduk yang ‘dipinjam’ tadi adalh kursi darurat tanpa sandaran.
KRRTTAK!
Dengan suara keras layaknya kayu patah, Dirgantara jatuh ke tanah. Deta batiknya terlepas, sama halnya dengan ketegangan di dalam tenda itu.
“Baik…” Kata Dirga selagi ia bangkit, menepuk-nepuk debu dari celana putihnya.
“Itu tadi hanya pemanasan.” “Yakin kita akan menang?” Astra bercanda dengan sarkasnya.
Mereka semua pun tertawa. Momen kebersamaan kecil yang sangat berarti bagi Dirga. Membuatnya teringat akan awal semua ini, dua bulan yang lalu di sebuah rumah teh di pinggiran Solo.
Kegelisahan Dirga malam itu berasal dari beban pemandangan yang tak bisa ia lupakan.
“Sampai kapan kita membiarkan mereka pajak panen kita?” Bisik Dirga, suaranya tegang, menatap ke luar jendela di mana patroli VOC berbaris angkuh di jalan Kasunanan.
“Yo, ndak tau,” Astra menjawab, berbaring di atas kursi panjang kayu rumah itu.
“Toh, Kasunanan hanya tinggal boneka hiasan indah.” Dirga meletakkan cangkir tehnya, teringat pada pandangan mata petani ua yang tanahnya disita karena dicurigai ada hasil yang disembunyikan. Dirga muak melihat keadilan dijualbelikan. Ia juga tak tahan merasa bahwa dia masih menahan dirinya, seolah dia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah ini.
Tunggu, dia bisa. “Kita tidak akan berperang seperti Mataram di masa lalu.” Dirga berdiri dari tempat duduknya, pandangannya tajam.
“Kita akan paksa mereka berlutut tanpa harus menumpahkan darah rakyat jelata.”
Mendengar itu, Astra pun bangun ke posisi duduk, mendongak ke arah sang Pangeran.
“Itu terdengar terlarang.” Mata tajam Dirga menahan pandangan serius Astra. Ketegangan di sekitar mereka terasa berat, hampir tidak nyaman.