Opini  

Sumbang 12: Elegi Pudar di Rumah Gadang Modern

Oleh - Andika Sutra, S.Pd. (GTK SMKN 4 Sijunjung dan Tutor PKBM Nurul Ihsan Tanjung Gadang)

Minangkabau, sebuah etnis matrilinear yang kaya dengan falsafah hidup, berdiri kokoh di atas pilar Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Dalam kerangka adat yang agung itu, lahir sebuah konsep etika yang berfungsi sebagai benteng moral dan pemandu pekerti, yang dikenal sebagai Sumbang 12.

Ini bukanlah sekadar daftar larangan kuno, melainkan sebuah kompas adab yang dirancang untuk menjaga marwah (harga diri), kehormatan, dan kesopanan, terutama bagi perempuan Minang yang menjadi simbol penjaga nilai (Bundo Kanduang). Namun, di tengah deru modernitas dan riuh rendahnya media sosial, kompas adab ini tampak kian tergeletak, jarumnya tak lagi dibaca.

Sumbang 12 yang mengatur etika duduk (sumbang duduak), berdiri (sumbang tagak), berbicara (sumbang kato), hingga bergaul (sumbang bagaua) kini menjadi sebuah elegi; sebuah nyanyian lirih tentang kearifan lokal yang mulai pudar dari ingatan kolektif, terutama di benak para muda mudi (generasi muda) Minangkabau. Fenomena ini adalah sebuah ironi budaya.

Generasi yang lahir dengan gawai di tangan seringkali lebih fasih meniru tren global daripada memahami etika sumbang yang diajarkan leluhurnya. Ini bukan murni kesalahan mereka.

Baca Juga  Iven Baru di Kalender Pariwisata Padang 2025, Ada Fun Run Air Manis dan Surfing Competition Internasional

Sumbang 12 menghadapi tiga tantangan besar di era digital: gempuran budaya luar, putusnya transmisi nilai, dan persepsi bahwa adat adalah kekangan.

  • Pertama, arus globalisasi membawa nilai-nilai individualisme dan kebebasan berekspresi yang seringkali diterjemahkan secara mentah. Etika sumbang yang mengajarkan kehalusan seperti sumbang caliak (tidak memandang lawan jenis secara liar) atau sumbang kato (tidak memotong pembicaraan orang tua) dianggap bertentangan dengan “kebebasan” dan “hak asasi” versi modern. Di media sosial, kita menyaksikan generasi muda Minang yang mungkin tanpa sadar telah melakukan sumbang kato dengan berkomentar kasar, atau sumbang pakai (berpakaian tidak pantas) demi engagement. Batasan antara yang pantas dan yang tidak pantas menjadi kabur, digantikan oleh tolok ukur “viral” dan “trending”.
  • Kedua, terjadi putusnya “obor” pengetahuan. Dulu, Sumbang 12 diajarkan secara lisan dan teladan di rumah gadang. Nasihat dari mamak (paman) dan bundo (ibu) adalah kurikulum wajib. Kini, rumah gadang fisik mungkin masih berdiri, tetapi rumah gadang sebagai pusat pendidikan karakter telah banyak bergeser ke ruang-ruang privat yang terisolasi. Orang tua sibuk, dan ninik mamak (pemangku adat) mungkin terasa berjarak. Akibatnya, Sumbang 12 tidak lagi terinternalisasi, melainkan hanya tersimpan di buku-buku adat yang jarang dibuka.
Baca Juga  Sekolah Kesetaraan: Menjembatani Kesenjangan, Meraih Asa Pendidikan

Pesan moral terbesar dari lunturnya Sumbang 12 adalah hilangnya “raso jo pareso” (rasa dan periksa; kepekaan sosial dan empati). Sumbang 12 pada hakikatnya adalah latihan untuk mengasah kepekaan.

Sumbang duduak, misalnya, bukan hanya soal cara duduk (seperti basimpuah bagi perempuan), tetapi soal menempatkan diri: tahu di mana duduk yang pantas saat bersama orang tua, dan di mana yang tidak.

Sumbang makan bukan hanya soal tidak mancapak (mengecap), tetapi soal mendahulukan yang lebih tua dan tidak mengambil berlebihan.

Ketika Sumbang 12 pudar, yang hilang bukanlah sekadar tata krama, melainkan budi pekerti. Kita akan menghasilkan generasi yang mungkin cerdas secara akademik, tetapi “sumbang” secara sosial. Mereka mungkin fasih berdebat, tetapi lupa etika sumbang tanyo (bertanya) dan sumbang jawek (menjawab) kepada yang lebih tua. Kita akan menyaksikan muda mudi yang bergaul tanpa batas, melupakan sumbang bagaua yang menjaga agar tidak terjerumus pada fitnah dan perbuatan amoral.