Langit Sijunjung baru saja melepaskan rona jingganya, berganti dengan selimut nila pekat. Di sebuah gubuk sederhana yang terselip di antara rimbunnya kebun karet di Nagari Tanjung Gadang, seorang bocah laki-laki berusia dua belas tahun sedang khusyuk di depan lampu teplok.
Namanya Ridho. Cahaya kuning yang bergoyang-goyang itu memantulkan bayangan tangannya yang kurus, menari-nari di atas lembaran koran bekas. Baginya, koran itu adalah buku catatan.
Ridho adalah definisi dari “anak malang” di kampungnya. Ia yatim sejak berusia lima tahun. Ayahnya, seorang penambang batu di tepian Batang Kuantan, wafat terseret arus sungai yang deras.
Kini, ia hanya hidup berdua dengan Amak (Ibu), seorang perempuan tangguh yang punggungnya kian membungkuk oleh tumpukan getah karet yang ia pikul setiap hari.
Mereka hidup dalam serba keterbatasan. Sepatu sekolah Ridho hanya satu, bagian depannya telah menganga, memperlihatkan ujung jempol kakinya. Seragamnya pun demikian, warna putihnya telah kusam menjadi kelabu, dengan jahitan benang kasar di bagian siku, hasil tangan Amak-nya.
Setiap pagi, sebelum kokok ayam jantan pertama, Ridho sudah harus bangun. Ia bukan bangun untuk belajar, melainkan untuk menerabas dinginnya subuh, membantu Amak-nya menoreh getah. Tangannya yang mungil sudah terbiasa memegang pisau sadap, mengiris kulit pohon karet dengan presisi agar getah putih mengalir deras ke tempurung kelapa.
Hanya setelah matahari mulai meninggi, barulah ia berlari-lari kecil menuju sekolah dasarnya, seringkali dengan perut yang hanya terisi singkong rebus sisa semalam.
Di sekolah, Ridho adalah siswa yang pendiam. Ia jarang bermain saat istirahat. Ia lebih memilih duduk di sudut perpustakaan, membaca buku apa saja yang bisa ia temukan. Otaknya cemerlang, tetapi nasibnya muram. Ia sering menjadi sasaran cemoohan kawan-kawannya.
“Dho, lihat sepatumu! Ikan sepat saja tidak mau masuk ke sana!” ejek Ujang suatu hari, disambut gelak tawa yang lain.
“Ayahku bilang, anak penyadap karet paling tinggi jadi tukang ojek,” timpal yang lain.
Ridho hanya diam. Genggamannya pada buku cerita usang itu mengerat. Malang baginya bukan berarti kalah. Dalam hatinya, ada bara yang dijaganya agar tidak padam. Ia ingin melanjutkan sekolah ke SMP di Muaro Sijunjung, ibu kota kabupaten. Ia ingin mengubah nasib. Ia tidak ingin Amak-nya terus-menerus membungkuk di bawah pohon karet seumur hidupnya.
Ujian akhir sekolah dasar tinggal tiga bulan lagi. Namun, awan kelabu seakan enggan beranjak dari gubuk Ridho. Suatu malam, Amak-nya terbatuk-batuk hebat. Tubuhnya demam tinggi. Ridho panik. Ia tahu, ini bukan batuk biasa.
“Mak, kita ke mantri (petugas kesehatan) ya,” bujuk Ridho.
Amak-nya menggeleng lemah. “Tidak usah, Dho. Uang kita tinggal untuk beli beras. Pakai saja obat param (obat gosok tradisional) yang di dapur.”
Hati Ridho serasa diiris. Malam itu, ia tidak bisa belajar. Ia sibuk mengompres dahi Amak-nya dengan air hangat. Bara di dalam dadanya terasa meredup, tertiup angin putus asa. Bagaimana ia bisa memikirkan ujian, jika untuk membeli obat saja ia tak sanggup?
Keesokan harinya, Ridho membulatkan tekad. Ia tidak pergi ke sekolah. Ia mengambil alih seluruh pekerjaan Amak-nya. Ia menyadap karet dari pagi buta hingga petang. Ia kerjakan dua kali lipat lebih banyak dari biasanya, berharap getah yang terkumpul bisa dijual untuk membeli obat.
Dua hari ia absen. Pada hari ketiga, ketika ia sedang menimbang getah di tempat tengkulak, seseorang menepuk bahunya.
“Ridho? Kenapa kamu tidak sekolah?”
Itu adalah Pak Burhan, wali kelasnya. Guru yang terkenal tegas namun bijaksana itu menatap Ridho dengan sorot mata yang sulit diartikan.
Ridho tertunduk. Air matanya tak terbendung lagi. Ia ceritakan segalanya. Tentang Amak-nya yang sakit, tentang tunggakan di warung, dan tentang mimpinya yang terasa semakin jauh.
Pak Burhan mendengarkan dengan saksama. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengambil alih timbangan getah itu dan membantu Ridho menyelesaikannya. Setelah dibayar, Pak Burhan menggenggam tangan mungil Ridho yang kapalan.
“Dho, dengar Pak Guru,” ujarnya tenang.






