“Orang Minang punya falsafah, Alam takambang jadi guru. Alam yang terbentang ini adalah guru kita. Kamu lihat pohon karet itu? Ia harus dilukai dulu baru bisa mengeluarkan getah yang berharga. Kamu lihat batu di sungai itu? Ia harus tergerus air jutaan kali baru menjadi licin dan indah.”
Pak Burhan berhenti sejenak, membiarkan kata-katanya meresap.
“Nasibmu yang malang itu, Dho, itu bukan kutukan. Itu adalah luka yang sedang Tuhan berikan untuk mengeluarkan ‘getah’ terbaik dari dirimu. Jangan padamkan baramu.”
Sore itu, Pak Burhan tidak hanya memberikan motivasi. Ia membelikan obat untuk Amak Ridho dan beberapa buku latihan ujian baru.
“Ini, pelajari. Pak Guru tahu kamu bisa. Buktikan bahwa anak penyadap karet dari Sijunjung bisa berdiri tegak.”
Kata-kata itu menyulut kembali bara di dada Ridho. Bara itu kini berkobar menjadi api.
Dua bulan berikutnya adalah perjuangan hidup dan mati. Siang hari ia sekolah, sore hingga malam ia merawat Amak-nya yang berangsur pulih, dan di sisa malam, ia melahap buku-buku latihan di bawah temaram lampu teplok. Ia tidak lagi belajar di koran bekas. Ia kini menulis cita-citanya di buku baru pemberian gurunya.
Hari pengumuman kelulusan tiba. Lapangan sekolah riuh. Ridho berdiri di sudut terjauh, memeluk lututnya. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Selebihnya, ia serahkan pada Yang Kuasa.
Kepala sekolah naik ke podium. “Anak-anak sekalian, tahun ini, nilai ujian tertinggi se-Kabupaten Sijunjung…”
Seluruh siswa menahan napas.
“…diraih oleh siswa dari sekolah kita! Dengan nilai nyaris sempurna… Ridho bin Almarhum Syamsudin!”
Hening sejenak.
Lalu tepuk tangan membahana. Ujang dan kawan-kawannya yang dulu mengejek, kini terdiam kaku. Ridho sendiri tertegun. Ia tidak salah dengar?
Pak Burhan menghampirinya, merangkul bahunya yang kurus dengan bangga.
“Selamat, Dho. Kamu tidak hanya lulus. Kamu mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan sekolah di SMP favorit di Muaro.”
Air mata Ridho tumpah. Kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kemenangan.
Sore itu, Ridho pulang dengan langkah yang berbeda. Ia tidak lagi berlari kecil. Ia berjalan tegap. Di tangannya, tergenggam surat keterangan lulus dan surat beasiswa. Sepatunya yang menganga masih sama, tetapi langkahnya tidak lagi ragu.
Ia sampai di gubuknya. Amak-nya sedang duduk di beranda, menunggunya. Ridho bersimpuh, meletakkan surat itu di pangkuan ibunya.
“Mak… Ridho lulus. Ridho dapat beasiswa, Mak,” ujarnya terisak.
Amak-nya memeluk kepala putranya. Dibelainya rambut Ridho dengan tangan kasarnya yang berbau getah karet.
“Amak tahu, Nak. Bara di hatimu itu, cahayanya sampai ke Arasy.”
Ridho memandang perbukitan Sijunjung yang hijau di kejauhan. Ia tahu, perjalanannya masih panjang. Jalannya terjal berbatu. Tapi ia tidak lagi merasa malang. Nasib malang hanyalah sebuah terowongan gelap. Dan hari ini, berkat kerja keras, doa, dan bimbingan gurunya, Ridho telah melihat cahaya di ujung terowongan itu. Bara di hatinya telah menjadi obor yang siap menerangi jalannya. ***

BIONARASI SINGKAT PENULIS
Nama : Andika Sutra, S.Pd
Pekerjaan : Guru
Asal Instansi : SMKN 4 Sijunjung
Alamat : Jorong Bukit Sebelah, Nagari Tanjung Lolo, Kec.
Nomor HP : 082386025994
E-Mail : [email protected]






