Aku mengenal Ibuku sebagai orang yang ceria yang sering tertawa meski aku tidak benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau memang benar-benar sedang bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekalipun mampu memantik gelaknya. Tapi, aku suka Ibu, suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai tulang pipi. Menurutku Ibu adalah sosok perempuan yang istimewa.*
BIODATA PENULIS
Nama : SEPTA KUMALA PUTRI Sekolah : Kelas IX SMPN 3 Silaut NIS :212 NISN :0035357972 TTL :Silaut III / 27 Sep 2003 Kelamin :Perempuan Agama :Islam Alamat :Nagari Sungai Pulai Kecamatan Silaut, Pesisir Selatan HP :082288776363
Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Karena ayahku sudah tiada ketika aku kelas enam Sekolah Dasar.
Masih segar dalam ingatanku ketika ayahku menahan sakit yang luar biasa meregang nyawa di sebuah rumah sakit di Jawa tempat kelahiranku. Ayahku divonis dokter mengidap kanker darah stadium empat.
Yang membuat sesal ibuku adalah kerasnya hati ayah bagaikan batu karang di lautan, setiap kali ibu mengajak ayah untuk memeriksakan diri ke dokter. Ayah berkilah, “Untuk apa buang-buang uang ke dokter, sebaiknya kita tabung saja untuk masa depan putri semata wayang kita.” Itulah alasan yang selalu kudengar di balik pintu ketika ibu berdebat dengan ayah untuk berangkat ke rumah sakit.
Namun suatu ketika, keras kepalanya tidak mempan lagi bagaikan batu karang yang pecah dihempas gelombang, ketika ia tiba-tiba pingsan tak sadarkan diri dan akhirnya ambulan melarikannya ke rumah sakit. Hanya tiga hari di rumah sakit, ayah meninggalkanku dan ibu untuk selama-lamannya.
Semenjak kepergian ayah, aku dan ibu seperti anak ayam kehilangan induknya. Apalagi ibu, tidak tahu harus berbuat apa. Karena selama ini, ayahlah tulang punggung kami. Ibu adalah ibu rumah tangga yang baik yang hanya menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan mengurusku dengan baik.
Suatu siang, kami terasa mendapatkan durian runtuh. Kami terasa mendapatkan oasis di tengah padang pasir yang tandus.
Salah seorang pimpinan di tempat ayah bekerja datang ke rumah yang mengantarkan sebuah berkas yang harus ditandatangani ibu dan seminggu lagi ibu sudah dapat mencairkan uang tersebut di bank katanya.
Tidak kami ragukan lagi atas kuasa Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang yang memberikan rezekinya yang melimpah di saat kami membutuhkannya. Tuhan memang selalu mengabulkan doa kita di saat yang tepat ketika kita butuhkan, bukan di saat kita memintanya.
Dengan pesangon ayah yang lumayan besar jumlahnya, Ibu memutuskan untuk mengajakku tinggal di sebuah daerah transmigrasi di Sumatera Barat atas saran dari salah seorang kerabat jauhku yang kebetulan sudah lebih dulu tinggal di sana.
Akhirnya, aku dan Ibu meninggalkan keluarga besarku dan pindah ke tempat di mana akhirnya aku dibesarkan setelahnya.
Kami tinggal di sebuah daerah perbatasan antara Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Bengkulu. Daerah ini adalah daerah Trans Swadaya Mandiri yang secara administratif berada di bawah pemerintahan Provinsi Sumatera Barat.
Daerah ini, ditempati berbagai macam suku seperti Minang, Batak, Sunda, dan Jawa, tetapi didominasi oleh pendatang dari Pulau Jawa.
Ketika mulai mengenal daerah ini, aku sepertinya mulai memahami keanekaragaman suku bangsa, bahasa, dan budaya di Indonesia. Negara Indonesia yang terdiri dari beribu pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan aneka ragam suku. Di daerah inilah aku mengenal bebarapa macam suku yang tersebar di Indonesia tersebut.
Ketika aku tinggal di daerah kelahiranku, aku hanya mengenal dan memahami suku dan bahasa Jawa, namun berbeda dengan di sini, aku dapat memahami beragam budaya sekaligus.
Aku didaftarkan Ibu di sebuah sekolah SMP yang siswanya juga beragam. Teman-temanku ada orang Minang, Batak, Sunda, dan lebih banyak orang Jawa sepertiku. Namun, yang membuatku sering bingung dan tidak habis pikir, walaupun mereka di rumah menggunakan bahasa daerahnya masing-masing, di sekolah mereka semua pintar berbahasa Jawa sepertiku dalam berkomunikasi sehari-hari.
Aku kagum juga dengan mereka, yang mampu menguasai bahasa Ibu mereka dan mampu juga menguasai bahasa kedua yaitu bahasa Jawa. Guru-guruku pun ada orang Jawa dan ada orang Minang. Kami selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan guru kami yang orang Minang karena mereka belum menguasai sepenuhnya bahasa Jawa.
Itulah salah satu yang membuatku bangga menjadi orang Indonesia, walaupun kita punya beragam bahasa dan budaya, tapi kita punya bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.
Hari-hariku menyenangkan dan aku menyukai tempat tinggalku yang baru. Bermulailah masa remajaku di sini. Masa-masa di mana seseorang belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Masa-masa seseorang yang masih labil yang dapat dipengaruhi oleh hal apapun. Dan masa-masa di mana seseorang sedang mencari jati diri.
Guruku selalu mengingatkan bahwa kami bukan lagi siswa Sekolah Dasar yang selalu berprilaku seperti anak-anak kebanyakan. Dengan bergantinya warna seragam, tingkah laku, perangai, dan tabiat kami juga harus berganti dengan yang lebih baik.
Sering guruku memarahi teman-temanku yang kedapatan berkejar-kejaran antara laki-laki dan perempuan bahkan main tarik-tarikan. Pernah juga dimarahi ketika mereka ketahuan di dalam kelas ketika jam istirahat yang duduk mepet-mepetan seperti orang yang sedang naik metromini.
Terkadang aku juga tidak habis pikir dengan teman-temanku yang berprilaku demikian, padahal guru selalu mengingatkan, namun bagi mereka nasihat-nasihat guru seperti bunyi radio rusak karena batrainya yang soak. Masuk teliga kiri, keluar lagi ke kiri, mental. Masih mending keluar di kanan, ada juga yang singgah di benak kepala. Tetapi, yang berprilaku demikian hanya sebagian kecil siswa di sekolah ku.
Sekarang, lupakan soal teman-temanku…
Walaupun hatiku senang di daerah ini, namun tetap saja ada hal yang mengganjal di pikiranku. Aku masih meraba-raba dan mencoba merambah semak belukar yang bersemayan di sebagian keci kepalaku.







