Sastra  

CERPEN: Penemuan Jati Diri Seorang Putri

Karya: Septa Kumala Putri (Siswa SMP Negeri Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan)

Seperti pakde Turi tetanggaku yang mulai menebangi hutan untuk membuka lahan baru dan menaman pohon sawit dan merawatnya. Kemudian ia bisa menikmati hasilnya walaupun menempuh banyak rintangan dan perjuangan mulai dari menanam sampai memetik hasil. Belum lagi harus bersiteru dengan babi hutan yang sering memakan bibit sawit yang baru ditanam. Sehingga bibit tersebut harus diberi pelindung.

Sampai pada tahap penyemprotan, pemumukan dan sebagainya. Tetapi, semua penat yang pernah dirasa akan hilang begitu saja, ketika telah memetik hasilnya  dua kali dalam sebulan. Mengalahkan pegawai negeri ataupun pegawai swasta yang hanya menerima hasil satu kali dalam satu bulan. Seperti itulah penghasilan rata-rata penduduk di daerah ini.

Tidak salah lagi, Ibu Camat pernah mengatakan di suatu kesempatan, daerahku  ini adalah kecamatan dengan tingkat perekonomian tertinggi di kabupaten. Waw… Bertambah lagi indikator yang membuat aku senang tinggal di sini.

Kembali ke persoalan  yang berbaris dan bersusun di kepalaku seperti barisan kami yang antri ketika bersalaman dengan guru sebelum masuk kelas, ataupun keluar kelas ketika jam pelajaran usai. Atau mungkin seperti sepatu kami yang tersusun rapi di rak sepatu masing-masing kelas.

Ya, kami selalu melepas sepatu kami ketika masuk kelas, kata guruku, ini adalah tradisi sekolah kami yang harus kami lestarikan untuk menjaga kebersihan kelas. Persoalanku adalah ketika belajar Budaya Alam Minangkabau atau yang disingkat dengan BAM.

Persolan ini mungkin tidak hanya melandaku saja, namun juga semua teman-temanku kecuali orang Minang. Suatu hal yang cukup sulit bagiku. Bagaimana tidak, aku yang berlatar belakang budaya dan bahasa Jawa, ternyata harus  mempelajari dan memahami budaya serta  bahasa Minangkabau.

Aku menganggap tidak ada korelasi antara yang kupelajari di sekolah dengan yang terjadi sehari-hari. Karena budaya serta bahasa sehari-hari dalam bergaul dengan masyarakat menggunakan  bahasa dan kebudayaan Jawa. Termasuk dalam mengadakan acara pernikahan memakai adat Jawa. Acara lain, seperti: mulai dari acara tiga bulanan, lima bulanan, sampai tujuh bulanan, yang semua itu tidak ada dalam adat Minangkabau.

Sementara itu, dalam pelajaran BAM aku dan teman-teman dituntut untuk memahami tentang adat Minangkabau seperti: kepemimpinan di Minangkabau sampai makna dari pakaian dan atributnya pun harus dipelajari maknanya. Kemudian  silsilah keluarga di Minangkabau yang menganut sistem Matrileneal.

Sehingga ketika guru menerangkan, pikiranku menerawang entah kemana. Bagiku apa yang dijelaskan guruku hanya sebuah teori seperti skenario  panggung sandiwara yang tidak dapat kuaplikasikan dalam dunia nyata. Sering aku mengeluh kepada ibuku yang selalu menjadi lentera bagi kelamnya ingatan dan pengetahuanku. Namun, ibuku juga tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini, ternyata lenteranya tak mampu memberikan sedikitpun cahaya di kegelapanku untuk memahami pelajaranku yang satu ini. Ibu hanya mampu berkata “Sing sabar yo nduk…”

Ibu Yosi selaku wakil kepala sekolahku pernah menjawab pertanyaanku tentang hal ini.  Beliau berkata,  “Di mana bumi dipijak, maka di situlah langit dijunjung.”

Beliau menjelaskan bahwa  daerah ini secara administratif berada di bawah pemerintahan Provinsi Sumatera Barat. Untuk itu, semua sekolah di provinsi ini diwajibkan untuk memberikan  pelajaran muatan lokal Budaya Alam Minangkabau. Karena budaya yang berkembang di Sumatera Barat adalah Budaya Minangkabau. Termasuk para penduduk dengan latar belakang budaya non Minang pun wajib mempelajari mata pelajaran ini di sekolah dan tidak ada pengecualian kata beliau.

Mendengar penjelasan itu, agaknya sedikit demi sedikit kabut asap yang menyelimuti pikiranku mulai terkuak dan mulai beranjak. Tetapi, yang namanya masalah tetap saja menghinggapi manusia yang masih bernafas. Karena masalah tercipta untuk membuat manusia menjadi aktif berpikir dan bernalar untuk menyelesaikannya bukan untuk menghindarinya, bahkan lari darinya.

Satu hal lagi materi pelajaran BAM yang membuat pikiranku kusut bagaikan benang kusut yang akan kujadikan untuk menerbangkan layang-layangku. Layang-layangku tertunda melenggak-lenggok dengan bebas  di angkasa yang maha luas walaupun aku sudah mendesain layang-layang dengan warna yang tercantik dan bentuk yang luar biasa bagus. Tapi, aku terkendala dengan benangnya yang kusut. Mungkin saja aku harus dengan sabar dan bekerja keras untuk memperbaiki tali layanganku, asalkan layanganku tetap akan berkibar indah di udara nantinya.

Materi pelajaran yang membuatku kusut adalah Sastra Minangkabau. Sebuah karya sastra dengan bahasa Minangkabau sebagai mediumnya. Bisa dibayangkan? Betapa kusutnya aku?

Aku harus menelaah unsur-unsur yang ada dalam karya sastra yang berbahasa Minang tersebut, sementara aku sama sekali tidak mudeng bahasa Minang. Aku sering minta bantuan teman Minang untuk mengalihbahasakannya ke bahasa Indonesia, tapi terkadang ia sendiri juga tidak memahaminya. Karena bahasa sastra adalah bahasa yang indah penuh makna. Saking indahnya, aku jadi  mumet.

Setiap permasalahan pasti ada solusi. Asalkan kita menggunakan hati yang tenang dan pikiran yang jernih. Dan yang terpenting adalah menjalin komunikasi yang harmonis dengan siapapun untuk mendapatkan pengetahuan tentang apa yang kita tidak tau dan tidak mengerti.

Itulah yang  namanya belajar.

Belajar adalah berpikir. Otak kita seperti otot yang harus dilatih agar tumbuh kuat. Salah satu cara untuk melatih otak adalah mempelajari dengan sabar dan sungguh-sungguh hal sulit yang kita hadapi.

Jangan mudah menyerah dengan keadaan dan hambatan. Jika gagal, bangkit lagi, dan lagi sampai akhirnya kita bisa. Jangan jera ketika kita cidera, namun tetap bangkitkan semangat yang bergelora. Mungkin inilah solusi dari permasalahanku.

Masalahku, hanya aku yang mampu menyelesaikannya sendiri  dan keputusan berada di tanganku. Jalanku, akulah yang akan menentukan. Apapun hal tersulit di hidupku akan kutaklukan dengan doa dan usaha, serta niat yang ikhlas.

Akulah Chandria Cristina Putri. Kutemukan semangat dan motivasi belajarku di daerah dengan keberagaman kebudayaan dan bahasa ini.

Dengan doa dari Ibu tersayangku akan kulangkahkan kakiku menuju masa depan gemilangku. Tidak akan kujadikan keberagaman dan perbedaan ini sebagai penghambat gapaian cita-citaku. Namun, akan kusyukuri perbedaan ini untuk memperkaya khasanah adab dan budayaku sebagai putri semata wayang ibuku yang ceria dan sebagai orang Jawa.

Aku Chandria Cristina Putri, inilah  jati diriku.

Selesai!

Keterangan:

  • Oasis : daerah di padang pasir yang berair
  • Pakde: panggilan kepada orang laki-laki yang lebih tua dari ayah.
  • Sing sabar yo nduk: yang sabar ya nak…
  • Mudeng : mengerti
  • Mumet : pusing
Baca Juga  SASTRA: Cerita Fantasi "Di Kehidupan Lain"