Oleh – AMANDA AR (Jurnalis Sekolah, Siswi SMAN 5 Padang)
KABATERKINI.Com – Perantau Minang (Sumatera Barat) ada dimana-mana, terutama di Ibukota Jakarta. Bahkan jika berkunjung ke pasar-pasar di Jakarta, tak heran banyak pedagang berbicara bahasa Minang sesama mereka.
Lantas! Kok bisa demikian? Kenapa berbicara pedagang di pasar identik dengan orang Minang? Sampai-sampai muncul peribahasa yang sering didengar dimana “Orang Minang Maju 5 Langkah dari China”. Ternyata itu kiasan dari kejadian awal orang Minang berdagang dimana pedagang China punya toko, lalu lima langkah dari depan pintu toko China itu, orang Minang buka lapak untuk berjualan.
Kok bisa ya…?
Yuk simak! Begini awal kisah orang Minang menguasai pasar di Jakarta.
Kisah ini berawal dari tiga orang Minang merantau mencari pekerjaan di Jakarta. Dari ingin menjadi pegawai berubah arah menjadi pedagang di Pasar Senen hingga menjadi kompetitor bagi pengusaha Arab dan China yang terlebih dahulu memulai usahanya di kawasan tersebut.
Pasar Senen Jakarta menyimpan sejarah perantauan orang Minang. Salah satunya cerita mengenai keberadaan trio Minang yang pernah menguasai perdagangan di salah satu pasar terbesar di ibu kota itu. Mereka adalah Djohan, Djohor, dan Ajoeb Rais.
Djohan telah memulai petualangannya di Batavia pada 1921. Menurut catatan peneliti dan dosen di Universitas Leiden, Suryadi Sunuri, Djohan kemungkinan besar berasal dari Sawahlunto. Djohan hanya tamat kelas 2 sekolah rakyat. Awal mula dia ingin merantau untuk mencoba peruntungan menjadi pegawai negeri atau swasta.
“Namun setelah sampai di Batavia, pikirannya berubah. Karena perdagangan di Batavia ramai, Djohan malah berpikir menjadi pedagang atau pengusaha,” tulis Suryadi Sunuri
Singkat cerita, karena tidak memiliki modal, Djohan pun menemui salah seorang pedagang Arab untuk membantu menjual barang dagangannya. Setelah paham dan mengenal cara berdagang, Djohan pun membuka lapak sendiri meskipun dia masih mengambil bahan dari pedagang Arab tadi. Rutinitas tersebut dijalaninya dengan sabar dan tabah.
Hasil keuntungan dari penjualan disimpan dan ditabungnya. Setelah memiliki modal sendiri, akhirnya Djohan membuka sendiri lapak dagangan.
Pengusaha Minang ini pun membeli bahan dagangan dengan pembayaran kontan. Dengan demikian, Djohan bisa membeli barang dagangan dengan harga murah dan menjualnya pun dengan harga bersaing dengan pedagang-pedagang Arab tersebut.
Dari lapak kecil, Djohan akhirnya berhasil menyewa toko di pasar tersebut. Lambat laun, usahanya makin berkembang dan terus menghasilkan keuntungan. Akhirnya, dia pun berhasil membeli beberapa petak toko untuk usaha perdagangannya. Usahanya terus meningkat dan dirinya pun semakin ternama di daerah tersebut.
“Setelah Djohan sukses, dia mengajak saudaranya Djohor untuk membantu bisnis perdagangnnya di Pasar Senen,” lanjut Suryadi.
Djohan dan Djohor pun berkolaborasi membangun bisnis hingga nama usaha mereka pun dipadukan menjadi “Handelsvereeniging Djohan-Djohor” (Perusahaan Dagang Djohan-Djohor).
Bisnisnya semakin menggurita. Usaha perdagangannya terus menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan.
Setelah mengajak Djohor, Djohan pun akhirnya mengajak Ajoeb Rais, pengusaha Minang lainnya, untuk berkolaborasi dan bermitra.
Perusahaan mereka pun akhirnya terus berkembang dan memiliki sejumlah cabang di berbagai daerah, seperti di Pekalongan, Semarang, Surabaya, Bandung, dan Medan.
Dalam catatan majalah Panji Pustaka, ketiga orang Minang ini menjadi kompetitor bagi pengusaha Arab dan China yang terlebih dahulu memulai usahanya di kawasan tersebut.
“Semendjak itoe keadaan di Pasar Senen jadi beroebah benar. Dahoeloe jang ada disana hanja toko orang Tionghoa semata-mata, tetapi semendjak toko Djohan-Djohor berdiri, toko-toko orang Boemipoetera jang lain didirikan poela. Dan sekarang toko-toko kain orang Boemipoetera soedah sebanding banjaknja dengan toko-toko orang Tionghoa,” tulis Pandji Poestaka, No. 91, Thn XV, 12 November 1937. (*/Berbagai Sumber)
Komentar