Nagari  

Masjid Asasi Gunuang, Tonggak Sejarah Islam di Padang Panjang

“Pertama ukiran yang berwarna kemerahan, pada tahun 1925 dirombak dengan ukiran yang dibuat Pakiah Tailan, orang Nagari Paninjauan. Kemudian dipercayai yang masih asli, ukiran yang dua tingkat dari tanah liat, bukan dari cat biasa,” ceritanya.

Semula, m Masjid Asasi ini beratapkan ijuk. Sebelum 1900 diganti menjadi seng berundak-undak sebanyak tiga tingkat. Berbentuk limas, permukaan atas dibuat cekung. Cocok untuk daerah beriklim tropis karena dapat lebih cepat mengalirkan air hujan.

“Masjid ini ada sedikit perubahan. Dahulunya memiliki menara yang digunakan untuk azan memberitahu waktu salat. Menggunakan seng plat dibuat seperti cerobong dikarenakan belum ada pengeras suara,” tambah Imam Masjid Asasi, Aswir Rasyidin Datuak Panjang.

Baca Juga  Gelar Pertemuan di Bukittinggi, Kepala SMP se-Sumbar Bahas Regulasi Pendidikan yang Berubah-ubah

Disebutkan, sekitar tahun 1670-an hingga 1700-an salah seorang yang memiliki pengaruh dan kekuasaan di Nagari Gunuang, yaitu Syekh Sultan Ishak atau Tuanku Daulat mulai mengembangkan ajaran Islam. Tahun 1700-an ini sebagai perkiraan tahun meninggalnya Syekh Sultan Ishak dan makamnya dinamakan Pusaro Gadang.

“Pusaro Gadang ini sampai sekarang masih dikunjungi peziarah dari kalangan umat islam dari berbagai nagari di Minangkabau, terutama di bulan Maulid dan bulan Haji,” katanya.

Baca Juga  Semarak HUT RI di Jorong Patar, Warga Jalan Santai Nikmati Sejuknya Udara Pagi di Alam Nagari Batu Bulek

Pendirian Masjid Asasi ini tidak terlepas dari sumber mata air utama di Sigando. Karena pembangunan sebuah perkampungan menurut tradisi, didahului dengan adanya sebuah sumber air.
Sumber mata air tersebut dinamakan “Bulaan”.

Secara fisik berbentuk kolam dengan ukuran 8 x 10 m dengan keunikan yaitu mata airnya ditutup dengan kayu jati, yang saat ini sudah memfosil. (*/SHINTIA PUTRI LIDYA – Kominfo Padang Panjang)