Penulis: Dilla, S.Pd.
Guru SMPN 2 Bukittinggi
“Di tengah derasnya arus data digital, pajak adalah jaring yang menampung harapan rakyat dan mengubahnya menjadi kekuatan nyata bagi negeri.”
Di sebuah rumah makan Padang yang cukup ramai, Ahmad pemilik usaha rumah makan tersebut menatap layar laptopnya dengan wajah serius. Ia bukan sedang menulis list bahan masakan yang akan dibeli ataupun menghitung pendapatan yang masuk pada hari itu. Melainkan mencoba melaporkan pajak usahanya melalui sistem digital. “Sekarang semua serba online, bahkan urusan pajak pun bisa diurus lewat genggaman,” gumamnya lirih sambil menekan tombol pada layar. Adegan sederhana itu menggambarkan wajah baru penerimaan negara Indonesia di era digital: lebih praktis, lebih transparan, dan sekaligus penuh tantangan.
Masih banyak orang yang memandang pajak hanya sebatas angka dalam lembaran kertas saja, padahal jika ditilik lebih dalam, pajak adalah denyut nadi kehidupan bangsa. Apalah jadinya negeri ini tanpa pajak? Jalan-jalan mungkin masih berdebu dan berlubang, sekolah kehilangan murid karena atapnya yang selalu bocor, fasilitas umum terbengkalai, rumah sakit kekurangan obat, hingga bangunan pemerintahan dan taman-taman di sepanjang jalan tak pernah ada dan berfungsi dengan baik.
Dengan kemajuan era digital saat ini, pemerintah bisa membuka peluang besar dalam penerimaan pajak negara. Transaksi daring kian marak, tumbuhnya ekonomi kretaif, serta geliat e-commerce bisa membuat negara mampu menjaring penerimaan pajak dari sektor yang dulu samar saja. Penerimaan negara yang kokoh akan bisa membawa pembangunan yang berkelanjutan dan juga memupuk kemandirian bangsa. Apalagi di zaman digital saat ini, denyut nadi itu tidak lagi mengalir melalui berkas fisik yang menumpuk, namun bisa melalui data, algoritma dan teknologi yang tersistem dan transparan.
Perputaran uang pun saat ini bagaikan arus sungai deras yang tak pernah surut. Karena di sanalah potensi pajak mengalir tanpa henti. Tetapi satu hal yang tidak bisa kita pungkiri di balik peluang, ada pula kerentanan. Melihat pajak hanya dari kacamata ekonomi saja tidaklah cukup, karena ada dimensi kemanusiaan yang kerap luput dari perhatian. Pajak sejatinya adalah jembatan solidaritas yang menghubungkan kemampuan dan kebutuhan, antara mereka yang berlebih dengan mereka yang kekurangan, demi terciptanya keadilan sosial.
Ketika Ahmad menunaikan kewajiban membayar pajak, secara tidak langsung ia sedang ikut membangun sekolah, memperbaiki jalan, menyediakan obat-obatan di rumah sakit, hingga menghadirkan jembatan di pelosok negeri. Pajak sejatinya adalah wujud gotong royong paling nyata di era modern. Kehadiran sistem digital semakin memperkuat kesadaran itu, sebab melalui aplikasi daring yang transparan, masyarakat bisa menumbuhkan rasa percaya. Rupiah yang dibayarkan tidak lagi dianggap lenyap ke ruang gelap, melainkan kembali ke ruang publik dalam bentuk layanan nyata yang bisa dirasakan bersama.
Kita harus menyadari bahwa penerimaan negara sangat ditentukan oleh kemampuan kita mengolah data dengan bijak. Data bukan sekadar angka kering, melainkan potret ekonomi masyarakat. Melalui data transaksi e-commerce, pemerintah dapat memahami pola konsumsi, membaca sektor yang berkembang, hingga memetakan potensi wajib pajak baru. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa di balik peluang tersebut, terdapat pula tantangan. Optimalisasi pajak jangan sampai menggerus kepercayaan publik. Privasi warga harus tetap dijaga, agar sistem digital yang hadir sebagai sahabat tidak berubah menjadi bayangan yang menakutkan.