Bayangkan jika masyarakat dapat melihat secara real-time ke mana uang pajaknya mengalir. Tentu hal ini akan menumbuhkan kepercayaan yang nyata. Mereka bisa mengetahui bahwa uang pajak digunakan untuk pembangunan jembatan di Sumatra, pengadaan beasiswa di Papua, atau pembelian alat kesehatan di Kalimantan. Akan lebih baik lagi jika pajak yang terkumpul di suatu daerah dapat lebih dulu digunakan untuk kemajuan daerah tersebut, sebelum kemudian memberi manfaat bagi daerah lain di seluruh pelosok negeri. Transparansi seperti ini akan membuat pajak tidak lagi dirasakan sebagai beban, melainkan sebagai kebanggaan. Sebab, dengan taat pajak, masyarakat bisa melihat daerahnya berkembang dan fasilitas umum tersedia dengan baik. Membayar pajak, pada akhirnya, sama mulianya dengan menanam pohon: keduanya menyuburkan kehidupan.
Ahmad akhirnya menutup laptopnya dengan senyum tipis. Ia merasa lega karena telah menunaikan kewajibannya. Di balik hawa panas tungku api dapurnya, ia merasakan kesejukan keyakinan, langkah kecilnya adalah bagian dari denyut nadi bangsa. Ia sendiri menyaksikan bagaimana akses jalan di sekitar rumah makannya membaik dan fasilitas umum hadir dengan lebih layak. Semua itu, ia yakini, tak lepas dari uang pajak yang dibayarkan masyarakat dan pelaku usaha seperti dirinya.
Penerimaan negara di era digital sesungguhnya bukan semata tentang berapa besar angka yang masuk kas negara, tetapi juga tentang bagaimana kita mampu menyulam harapan, menumbuhkan kepercayaan, dan menjaga solidaritas di tengah perubahan zaman yang begitu pesat. Kini Indonesia membutuhkan penerimaan negara yang kuat, bukan hanya untuk menopang pembangunan fisik, tetapi juga untuk menjaga martabatnya di mata dunia. Era digital adalah medan baru yang menuntut keberanian, kecerdasan, sekaligus kebijaksanaan. Jika bangsa ini mampu mengelola perpajakan dengan adil, transparan, dan ramah, maka masa depan kemandirian finansial akan berdiri kokoh. Karena sejatinya, kemerdekaan bukan hanya berarti bebas dari penjajahan, melainkan juga berani berdiri di atas kaki sendiri dengan penerimaan negara yang tangguh, adil, dan berdaulat.
Pajak di era digital bukan lagi sekadar kewajiban administratif, melainkan jembatan solidaritas yang menyatukan rakyat dengan negaranya. Transparansi, keadilan, dan pemanfaatan teknologi akan menentukan seberapa besar masyarakat mau percaya dan berpartisipasi. Jika kepercayaan tumbuh, maka pajak tidak akan lagi dianggap beban, melainkan kebanggaan bersama. Membayar pajak bukan hanya sekadar kewajiban, melainkan wujud gotong royong modern melalui langkah kecil tiap warga yang bersama-sama menegakkan martabat dan kemandirian bangsa. Karena negeri ini tidak hanya dibangun dengan batu dan semen, tetapi juga dengan kepercayaan yang lahir dari setiap rupiah pajak yang rela dibayarkan masyarakatnya.
Biodata Penulis
Dilla, S.Pd, lahir di Bukittinggi, pada tanggal 8 Juni 1981. Beralamat di Jl. H. Abdul Manan No. 49, Simpang Guguk Bulek. Sekarang berprofesi sebagai Guru di SMPN 2 Bukittinggi. Menamatkan kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNP pada tahun 2004. Alumni SMA 3 Bukittinggi ini bisa dihubungi melalui email, [email protected], Ig; @dillaspd, Fb; Espede Dilla dan nomor Wa; 081363320742. Bisa juga membaca tulisannya melalui blog; www.dillaspd.my.id. (*/)