Ketahanan pangan adalah fondasi kedaulatan bangsa. Tanpa pangan yang cukup, terjangkau, dan berkelanjutan, sebuah negara akan rapuh, meski memiliki sumber daya alam yang melimpah.
***
Indonesia sebagai negeri agraris dianugerahi tanah subur, iklim tropis yang kaya, serta tradisi pertanian yang telah mengakar sejak berabad-abad.
Di balik anugerah itu, kita menghadapi kenyataan bahwa minat generasi muda untuk terjun ke dunia pertanian kian merosot, seolah profesi petani tidak lagi dipandang terhormat. Kenyataannya, sektor pertanian bukan hanya urusan sawah dan ladang, melainkan motor ekonomi bangsa.
Data BPS mencatat, pada tahun 2024 sektor pertanian menyumbang antara 11,31%–12,53% terhadap PDB nasional. Pada triwulan I tahun 2025, kontribusinya masih mencapai 10,52%.
Fakta ini menunjukkan bahwa pertanian tetap menjadi salah satu dari tiga sektor terbesar penopang ekonomi Indonesia. Artinya, pertanian bukan pekerjaan pinggiran, melainkan sektor strategis yang menjaga stabilitas pangan sekaligus pertumbuhan ekonomi.
Di sisi lain, Indonesia sedang menghadapi tantangan serius. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2025 mencapai 4,76% atau sekitar 7,28 juta orang.
Dari jumlah itu, kelompok usia muda 15–24 tahun menyumbang angka tertinggi, yaitu 16,16%. Generasi yang seharusnya menjadi energi baru bangsa justru banyak yang tidak memiliki pekerjaan. Kondisi ini berisiko melahirkan berbagai persoalan sosial: dari penyalahgunaan narkoba, kriminalitas, hingga paparan paham radikal.
Kita perlu belajar dari pengalaman Nepal. Negara itu kehilangan banyak tenaga muda produktif karena mereka bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. Akibatnya, sektor-sektor vital kehilangan regenerasi, dan perekonomian menjadi rapuh karena bergantung pada remitansi.
Indonesia tidak boleh jatuh ke jurang yang sama. Generasi muda kita harus diberi ruang untuk berkontribusi di tanah air, terutama di sektor yang menjamin keberlangsungan hidup: pertanian.
Tantangannya adalah minat generasi muda di Indonesia terhadap dunia tani masih rendah. Survei Jakpat (2023) menunjukkan hanya 6% Gen Z yang berminat bekerja di sektor pertanian.
Dalam satu dekade terakhir (2011–2021), proporsi anak muda di pertanian merosot dari 29,18% menjadi 19,18%, sementara sektor jasa justru melonjak hingga 55,8%. Hal ini tidak terlepas dari stigma lama bahwa petani dianggap pekerjaan kotor, melelahkan, dan berpenghasilan rendah.
Sesungguhnya, pertanian masa kini telah berubah wajah. Teknologi digital menghadirkan era baru: smart farming, digital marketing, agrowisata, hingga startup agritech. Seorang petani muda kini bisa mengelola lahannya dengan sensor modern, menjual hasil panen lewat e-commerce, atau bahkan mem-branding dirinya sebagai agripreneur di media sosial.
Petani bukan lagi hanya penjaga sawah, melainkan food guardian—garda terdepan yang memastikan ketahanan pangan sekaligus motor pertumbuhan ekonomi daerah.
Potensi Besar Pertanian Sumbar Harus Digenggam Generasi Muda
Sumatera Barat adalah provinsi dengan basis pertanian yang kokoh. Data BPS menunjukkan pada tahun 2023 sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 21,20% terhadap PDRB Sumbar, bahkan pada triwulan I tahun 2025 masih mendominasi dengan 22,43%. Artinya, sepertiga perekonomian Sumatera Barat bertumpu pada pertanian.
Lebih dari itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja terbesar. Hingga 2023, tercatat sekitar 972.400 orang atau 33% tenaga kerja Sumatera Barat bekerja di sektor pertanian. Sayangnya, sebagian besar (sekitar 88,81%) masih berstatus informal, yang membuat posisi petani rentan dari sisi jaminan sosial dan kepastian pendapatan.
Dari sisi produksi, capaian pertanian Sumbar cukup membanggakan. Produksi padi meningkat dari 1,37 juta ton GKG pada 2022 menjadi 1,47 juta ton pada 2023. Produksi cabai mencapai 127.620 ton, bawang merah 233.915 ton, jagung dan hortikultura lain juga tumbuh.