Langkah itu menegaskan bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinannya tak akan mentolerir praktik yang mengarah pada korupsi, kolusi, dan nepotisme—sekalipun dalam bentuk yang selama ini dianggap “lazim”.
Jemput Bola ke Pusat
Menyadari bahwa APBD saja tak cukup untuk membiayai pembangunan daerah, Annisa bergerak cepat ke Jakarta. Dalam waktu singkat, ia menemui Wakil Menteri PUPR, menyampaikan proposal pembangunan jalan nasional, irigasi teknis, dan program air bersih. Ia tak datang membawa wacana, tapi membawa data dan perencanaan detail.
Ia juga mendatangi PLN dan Telkomsel, memperjuangkan agar listrik segera masuk ke Jorong Jao, Nagari Panyubarangan, yang sejak Indonesia merdeka belum pernah merasakan terangnya bohlam.
Sementara di hadapan petinggi Telkomsel, ia mendesak pembangunan BTS di delapan nagari yang masih mengalami blank spot sinyal. Di era digital, katanya, keterisolasian bukan lagi pilihan.
Untuk memperkuat akses ke pusat, ia juga bersinergi dengan tokoh nasional asal Sumbar, seperti anggota DPR RI Andre Rosiade dan Alex Indra Lukman. Baginya, kolaborasi adalah kunci percepatan pembangunan, bukan soal afiliasi politik.
Dari Rakyat Badarai hingga Lingkar Elit
Yang menarik, Annisa punya kemampuan adaptasi yang luar biasa. Meski terlahir dari keluarga berkecukupan, punya pergaulan elit dengan petinggi negara, dan mengenyam pendidikan yang memupuni bahkan sampai ke Amerika.
Putri tercinta Marlon Martua, Bupati Dharmasraya periode 2005-2010 dan Rafnelly Rafky itu tetap mampu membumi bersama rakyat.
Meski tak segan bertegas-tegas dengan para pejabat Pemkab Dharmasraya, di tengah masyarakat ia justru hadir dengan gaya egaliter. Ia duduk sepataran dengan warga, menyantap makanan sederhana, dan mendengar keluh kesah secara langsung.
Di banyak kesempatan, ia menolak terlalu menggunakan protokoler yang menciptakan jarak. Senyumnya selalu mengembang hangat saat diajak warga berswafoto. Ia menjadi pemimpin populis di mata rakyatnya.
Namun di ruang-ruang elit Jakarta, ia juga tak canggung tampil luwes. Selalu percaya diri. Ia tahu kapan harus bicara data, kapan harus bicara diplomasi. Ia bisa berkomunikasi cair dengan pejabat selevel Menteri.
Salah satu momen penting terjadi saat Salat Idul Fitri 1446 H di Masjid Agung Dharmasraya. Di hadapan ribuan jemaah, ia menyampaikan pesan-pesan damai, mempererat ukhuwah, dan menekankan pentingnya menjaga persatuan pasca-Ramadhan dan Pilkada. Pesannya menyentuh, bukan karena tinggi bahasa, tapi karena tulus dan kontekstual.
Pemimpin Perempuan di Tengah Budaya Maskulin
Sebagai perempuan pertama yang memimpin kabupaten di Sumatera Barat, Annisa paham betul bahwa ia menghadapi beban ganda. Ia harus membuktikan diri bukan hanya sebagai pemimpin yang cakap, tapi juga sebagai perempuan yang mampu bertahan di kultur politik yang selama ini maskulin.
Namun ia tidak tampil agresif atau defensif. Ia justru hadir dengan pendekatan baru: kerja konkret, komunikasi terbuka, dan keberanian mengambil keputusan. Ia tak banyak menjanjikan, tapi berupaya menghadirkan hasil.
“Saya tidak ingin menjawab keraguan dengan pernyataan, saya ingin menjawabnya dengan kerja nyata.” katanya saat berkampanye dahulu.
Satu Bulan, Membawa Sejuta Optimisme
Dalam satu bulan pertamanya menjabat, Annisa telah menunjukkan bahwa perubahan bisa dimulai dari langkah kecil tapi konsisten. Ia tidak hadir untuk pencitraan, tapi untuk membangun kepercayaan. Ia tidak menjual mimpi, tapi menawarkan harapan yang dirancang dengan kerja.
Kini, publik Dharmasraya mulai melihat bahwa mereka tidak hanya punya bupati baru, tapi juga cara baru dalam memimpin. Cara yang lebih rasional, dan lebih progresif.
Annisa telah memulai jalan panjangnya sebagai pemimpin. Dan satu bulan pertama ini cukup untuk menyalakan harapan, membawa sejuta optimisme bahwa masa depan Dharmasraya bisa ditulis dengan tangan yang lebih bersih dan hati yang lebih tulus. (*/)