Dalam kacamata John Rawls (1971) melalui teorinya Justice as Fairness, masyarakat adil adalah masyarakat yang mampu mengelola perbedaan secara damai dengan menjunjung tinggi prinsip keadilan dan menghormati hak-hak dasar setiap individu.
Jika prinsip keadilan dan penghargaan atas perbedaan ini tidak ditegakkan, maka yang muncul adalah ketegangan sosial yang berpotensi merusak kohesi bangsa. Sejalan dengan itu, Idulfitri seharusnya menjadi panggilan moral untuk merefleksikan kembali bagaimana masyarakat dapat menata kehidupan bersama yang adil dan damai.
Lebih lanjut, teori Positive Peace yang dikembangkan oleh Johan Galtung (1969) menegaskan bahwa perdamaian sejati (positive peace) bukan hanya ketiadaan kekerasan (negative peace), tetapi mencakup keberadaan keadilan sosial, hubungan harmonis, dan kesejahteraan bersama.
Dalam konteks ini, Idulfitri mengajarkan esensi rekonsiliasi, kebersamaan, saling memaafkan, dan solidaritas sosial, yang merupakan fondasi penting untuk menciptakan perdamaian positif.
Sayangnya, sering kali semangat Idulfitri hanya berhenti pada simbolisasi “maaf-memaafkan” tanpa diikuti oleh upaya nyata membangun relasi sosial yang adil dan damai.
Disamping itu menurut Prof. Janet McIntyre (2025) dalam seminar International Conference on Eco-Theology baru-baru ini, bahwa agama sangat berperan dalam menjadi penggerak utama (prime mover) kerukunan alam dan lingkungannya.
Sudah seharusnya, menurut Janet, bumi dijadikan mitra suci bukan diekploitasi. Atau mengutip pendapat Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A bahwa pendekatan Antroposentrisme sedikit banyak berpengaruh, apalagi penafsiran Al-Qur’an cenderung diarahkan kepada maskulinitas yang padahal lebih banyak feminim-nya.
Bahkan, menurut Guru Besar UIN Jakarta yang kini menjadi Menteri Agama RI, jika diperas lagi isi Al-Qur’an itu ada di surat Al-Fatihah dan jika diperas lagi ia ada di dalam kalimat Bismillahirrahmanirrahim yang intinya adalah kasih sayang.
Jadi ajaran Al-Qur’an banyak mendorong kasih saying, termasuk terhadap alam. Kalau ada manusia yang sukanya merusak, memfitnah, keras kepada sesama, maka tentu dia sedang mempertontonkan pribadi yang tidak layak diwisuda menjadi fitri setelah puasa Ramadan karena sangat jauh dari ajaran agama Islam.
Selain menjadi sarana spiritual, Idulfitri juga berfungsi memperkuat modal sosial masyarakat. Robert Putnam (2000) melalui konsep Social Capital menegaskan bahwa modal sosial berupa jaringan sosial, kepercayaan, dan norma timbal balik adalah elemen penting dalam menciptakan masyarakat yang solid dan kohesif.
Tradisi silaturahmi dan saling memaafkan saat Idulfitri menjadi praktik nyata dalam memperkuat jaringan sosial yang sebelumnya mungkin renggang akibat perbedaan pilihan politik atau pandangan agama.
Modal sosial yang kuat inilah yang menjadi prasyarat bagi terciptanya kerukunan sosial yang berkelanjutan.
Kerukunan Tanggung Jawab Bersama
Meski demikian, upaya menjaga kerukunan tidak cukup diserahkan pada individu semata.
Peran negara, tokoh agama, dan masyarakat sipil menjadi krusial dalam menciptakan sistem sosial yang adil dan damai. Negara harus menjamin adanya ruang aman bagi perbedaan, sementara tokoh agama perlu terus menggaungkan pesan-pesan damai, bukan sebaliknya memelihara narasi eksklusif yang justru memperkeruh hubungan sosial.
Oleh karena itu, spirit Idulfitri harus dimaknai sebagai proses berkelanjutan membangun keadilan sosial dan kerukunan, bukan hanya momen seremonial.
Idulfitri bukan sekadar tentang kembali suci secara personal, tetapi juga tentang menjadi pribadi yang mampu menghadirkan damai di tengah masyarakat yang plural. Kesadaran ini penting agar kita tidak terjebak dalam euforia sesaat, tetapi mampu menata ulang relasi sosial berdasarkan prinsip keadilan, toleransi, dan solidaritas.
Akhirnya, Idulfitri perlu menjadi refleksi bersama bahwa kerukunan adalah fitrah kita sebagai manusia, dan menjaga kerukunan adalah amanah keagamaan sekaligus kewajiban kebangsaan. Maka, jika setelah Idulfitri, kita masih larut dalam konflik dan permusuhan, patut dipertanyakan sejauh mana kita benar-benar “kembali ke fitri”.
Oleh karena itu, mari menjadi pribadi yang damai dan menebarkan kedamaian, sebab damai adalah inti dari fitrah manusia. Hal ini sesuai dengan akar kata Islam yakni Aslama-yuslimu-Islaaman yang tidak saja “damai”, akan tetapi membawa kedamaian.
Oleh karena itu setiap individu umat Islam, apalagi setelah kembali Fitri, di dalam dirinya harus dapat menebarkan energi kedamaian bagi sesama.
Muhammad Adib Abdushomad (Kepala Pusat Kerukanan Umat Beragama Kemenag RI dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Madani Global Citizenship (MGC) Rempoa-Tangsel)