Opini  

Idul Fitri dan Spirit Kerukunan Jadikan Pribadi yang Damai

Avatar photo

Muhammad Adib Abdushomad (Kepala Pusat Kerukanan Umat Beragama Kemenag RI dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Madani Global Citizenship (MGC) Rempoa-Tangsel)

Muhammad Adib Abdushomad (Kepala Pusat Kerukanan Umat Beragama Kemenag RI dan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Madani Global Citizenship (MGC) Rempoa-Tangsel)

***

Kita semua telah menyaksikan bahwa pada 2025 ini penentuan awal Ramadan dan awal Syawal sangat merefleksikan suasana kebersamaan yang dirangkum dalam sidang Istbat Kemenag RI.

Tentu ada beberapa kelompok kecil di luar mainstream umat Islam yang telah lebih dahulu merayakan Idulfitri pada Ahad, bahkan ada yang Kamis dan Jum’at lalu.

Tulisan ini tidak membahas perbedaan dan dinamika penetapan awal puasa dan Idulfitri, namun ingin menangkap pesan esensi kerukunan dan perdamaian dalam perayaan lebaran.

Peringantan Idulfitri adalah penanda telah berakhirnya puasa Ramadan selama kurang lebih satu bulan bagi umat Islam. Setelah sebulan lamanya kurikulum Ramadan dilalui, tentu ada ekspektasi akan kemenangan ataupun dampak yang didapatkan setelah berpuasa.

Oleh karenannya Idulfitri adalah momentum sakral yang menandai kemenangan spiritual setelah menjalani ibadah puasa Ramadan dengan berbagai paket Ibadah dan kebaikan-kebaikan yang dilakukan, bahkan diharapkan menjadi semacam kebiasaan (habitus) yang akan menjadi perisai setelah puasa Ramadan.

Puasa Ramadan tentu saja lebih dari sekadar seremoni keagamaan. Karena ia adalah stepping stone atau semacam jembatan untuk tindakan-tindakan kebaikan berikutnya setelah berakhirnya puasa Ramadan. Dengan pendekatan ini, maka tidak akan “memutus mata rantai kebaikan”.

Baca Juga  Wah! Pemerintah Berikan Kompensasi Listrik Rp17,8 Triliun ke PLN, Tapi Tarif Listrik Kok Masih Mahal Ya?

Artinya bagi umat Islam yang berpuasa Ramadan secara utuh dan sungguh-sungguh, maka dia tidak saja menjadi pribadi baik selama bulan suci Ramadan tiba, tapi justru puasa Ramadan yang telah dijalaninya membekas dan menjadi bekal 11 bulan yang akan datang.

Untuk memberikan ciri setelah selasai puasa Ramadan, ada semacam rangkaian penanda yakni proses wisuda kolektif peringatan Idulfitri. Bagi sebagaian orang tanda Idulfitri ini telah “direduksi” dengan pakaian baru, atau mobil yang baru dan aspek materialistik dan terkadang hedonistik lainnya.

Idulfitri seharusnya semakin menambah kekuatan iman dan spirit ketaqwaan yang terbarukan dalam pribadi umat Islam yang beriman.

Untuk itu, pemaknaan Idulfitri harus di-extended ke arah nilai-nilai universal agar tidak menodai proses puasa dan kebaikan-kebaikan yang telah dijalankan sebulan penuh selama Ramadan.

Idulfitri dan Komitmen Kebangsaan
Peringatan Idulfitri itu sendiri mengandung makna secara filosofis untuk kembali ke fitrah kemanusiaan, yaitu kesucian jiwa dan keterhubungan sosial yang harmonis.

Baca Juga  Catatan Budaya Idul Fitri, Halal-Bihalal dan Ketupat Lebaran

Dalam konteks masyarakat majemuk seperti Indonesia, semangat Idulfitri semestinya menjadi jalan untuk memperkuat kerukunan dan meneguhkan komitmen kebangsaan.

Namun demikian, tantangan kerukunan sosial yang terus mengemuka, baik dalam bentuk polarisasi politik maupun gesekan antarkelompok, menjadi ironi yang harus dikritisi.

Secara filosofis, makna kembali ke fitri dapat dipahami sebagai upaya manusia untuk kembali kepada hakikat kemanusiaannya yang asli: mencintai kebaikan, keadilan, dan perdamaian.

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Ar-Rum ayat 30, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.”

Ayat ini menegaskan bahwa manusia secara alami diciptakan dengan potensi cinta damai dan kebaikan. Dalam pemikiran Al-Ghazali, fitrah manusia adalah kecenderungan alami untuk mencintai kebenaran, keadilan, dan perdamaian, yang apabila terdistorsi oleh nafsu dan ego, harus dikembalikan melalui proses pensucian jiwa, seperti yang dilakukan selama Ramadan.

Namun, realitas sosial kita masih jauh dari semangat fitri yang sesungguhnya. Fenomena intoleransi, ujaran kebencian, serta polarisasi sosial dan politik kian mencemaskan.