Setelah berbincang singkat dengan perangkat nagari, Annisa melanjutkan perjalanan. Sesampainya di tepi sawah, matahari telah condong ke barat. Petani-petani mulai pulang, ada yang berjalan kaki, ada yang menunggang motor tua, membawa rumput ternak yang diikat rapi di jok belakang.
Di sudut pematang, Bupati duduk beralaskan beton polongan irigasi, bercakap dengan Sutarno, pengurus Badan Usaha Milik Nagari (BUMNag) Sungai Duo. Mereka membahas upaya Bumnag membeli gabah langsung dari petani untuk menghindari tengkulak. Harga pembelian pun kerap lebih tinggi.
“Kalau tengkulak ambil Rp6.400, kami harus berani beli Rp6.600 atau lebih,” ujar Sutarno.
Namun, ia mengakui bahwa tantangan besar masih membayangi. Ketergantungan petani terhadap tengkulak belum sepenuhnya teratasi karena terbatasnya akses permodalan. Sistem bayar setelah panen (yarnen) dengan mengambil keuntungan lebih masih menjadi budaya.
“Kami butuh rice milling sendiri, Buk. Selama ini masih menumpang ke penggilingan touke, itu menambah biaya produksi minimal 10 persen,” ujarnya.
Sutarno menjelaskan bahwa jika BUMNag punya mesin penggilingan sendiri, mereka bisa menyerap setidaknya 40 persen gabah dari total panen 480 hektare sawah di kawasan tersebut. Ini akan menjadi fondasi awal untuk membangun daya tawar petani.
Annisa mendengarkan dengan saksama. Ia menyebut rencana ini sejalan dengan gagasan One Village One Product (OVOP) yang tengah ia dorong. Ia menjanjikan pengkajian mendalam untuk intervensi pemda.
“Kalau ini bisa kita wujudkan, bukan tidak mungkin Sungai Duo akan dikenal dengan beras premiumnya,” ujarnya sembari tersenyum dan melanjutkan perjalanan ke titik selanjutnya. (Bersambung Bagian 2 …)