Opini  

Catatan Budaya Idul Fitri, Halal-Bihalal dan Ketupat Lebaran

Avatar photo
Syafi'i (Kepala Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama pada BMBPSDM Kemenag)
Oleh – Syafi’i (Kepala Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama pada BMBPSDM Kemenag)

Ketika hilal bulan Syawal sudah terbit, pertanda Idul Fitri telah datang menghampiri. Idul Fitri menandakan berakhirnya bulan Ramadlan yang di dalamnya ada kewajiban menjalankan puasa bagi orang yang beriman.

Puasa sebulan lamanya adalah media untuk mengembalikan manusia kepada jati dirinya. Ketika sebulan telah berhasil dilaluinya, maka orang yang berpuasa berhak untuk merayakan kemenangan akan kembalinya jati diri manusia kepada fitrahnya, yaitu manusia yang bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral.

Acapkali belenggu duniawi dan hasrat insani menutup, mengaburkan, dan membelokkan fitrah manusia yang menjauhkannya dari Tuhannya.

Oleh karena itu, ketika puasa dijalani dengan kesungguhan (imanan wa ihtisaban), tersingkaplah tirai antara dirinya dengan Tuhannya sehingga jarak keduanya menjadi sangat dekat (Wa idzâ saalaka ‘ibâdî ‘annî fa innî qarîb/Q.S al-Baqarah: 186).

Puncak dari fitrah ketuhanan adalah bertakbir, sebuah deklarasi akan keagungan Tuhan, Allah. Tidak ada yang besar melainkan Allah, sedangkan alam semesta, termasuk manusia, hanyalah makhluk rendah di hadapan-Nya. Tetapi, seringkali ego manusia membuatnya merasa besar dan melupakan keagungan Tuhannya.

Ketika manusia telah melakukan proses penyucian diri dan kembali ke fitrahnya melalui puasa dia tersadar kembali bahwa yang Maha Besar itu Tuhan, Allah, sedangkan dirinya bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa di hadapan-Nya. Segala atribut yang melekat padanya (harta, ilmu, pangkat, jabatan, dll.) hanyalah semu yang bisa lenyap kapan saja dan tidak bersisa.

Baca Juga  Suara Irman Gusman Meledak, KPU Padang Panjang Tuntaskan Rekapitulasi PSU DPD RI

Anehnya atribut semua itu bagi banyak orang dapat meninggikan egonya, menutup fitrahnya. Puasa adalah jalan untuk mengembalikan fitrah. (Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan [hari-hari di bulan Ramadlan untuk berpuasa] dan hendaklah kamu mengagungkan Allah [dengan bertakbir] atas petunjuk yang diberikan kepadamu agar kamu bersyukur/Q.s. Al-Baqarah: 185).

Oleh sebab itu siapa yang berhasil mengembalikan fitrahnya, layak untuk merayakannya (Idul Fitri, perayaan kembali kepada fitrah). Minal ‘Âidîn (termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah penciptaan: bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral) wal Fâizîn (termasuk orang-orang yang beruntung karena dapat menaklukkan nafsu) wal Maqbûlîn (dan termasuk orang yang diterima doanya karena dekatnya hubungan spriritual orang yang telah berpuasa dengan Tuhannya. Lihat Q.S Al-Baqarah: 186).

Islam Agama Damai

Islam adalah agama yang membawa pesan damai. Dalam bahasa Arab Islam berasal dari akar kata s-l-m yang bermakna damai, selamat, dan berserah diri. Islam mengajarkan totalitas penyerahan diri kepada sang Khalik.

Dengan penyerahan diri tersebut membawa kedamaian dan mengantarkan kepada keselamatan. Kedamaian merupakan dambaan dari setiap manusia sebagai makhluk sosial untuk menjamin aktivitas dapat berlangsung secara aman dan nyaman.

Baca Juga  Peringatan Hari Pahlawan dan HKN 2024: Ini Pesan Menyentuh Bupati kepada Masyarakat Dharmasraya

Manifestasi pesan damai agama ini dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat/bangsa dengan masyarakat/bangsa lainnya. Masyarakat Indonesia dikenal memiliki kearifan lokal dalam mengimplementasikan pesan-pesan agama. Salah satunya adalah pesan damai dalam agama yang ada pada tradisi Halal Bihalal.

Menurut sebagian sumber, Halal Bihalal diperkenalkan oleh KH Abdul Wahab Hasbullah, salah seorang pendiri NU, pada tahun 1948. Istilah Halal Bi Halal meskipun berasal dari bahasa Arab, anehnya tidak dijumpai dalam morfologi Arab. Ini istilah khas Indonesia dalam diksi Arab. Secara sederhana berarti halal dengan halal, saling menghalalkan. Dalam konteks interaksi sosial dimaknai saling mengikhlaskan dan memaafkan kesalahan satu dengan lainnya.

Istilah itu muncul didorong oleh keinginan Bung Karno untuk meng-guyubrukun-kan kembali para tokoh politik yang tengah berseteru.

Bung Karno meminta saran kepada KH Abdul Wahab Hasbulloh yang kemudian dicetuskanlah gagasan untuk mengadakan silaturrahim setelah Idul Fitri dengan harapan di forum tersebut para tokoh saling menghalalkan, memaafkan satu sama lain, Halal Bihalal. Tradisi ini terus berkembang sampai sekarang.

Pesan Idul Fitri