Pesisir Selatan Berduka, Tokoh Uang Lengayang Telah Tiada!

Oleh: Haridman

Innalillahi wa innailaihirajiun! H. Buya Ruslinur tokoh terakhir pelaku percetakan uang bersejarah di Pesisir Selatan telah tiada. Buya Ruslinur berpulang ke rahmatullah tanggal 8 April 2024 di RSUD Painan pada usia 94 tahun.

15 tahun yang lalu saya berdiskusi banyak dengan Buya Ruslinur, hampir satu minggu bolak-balik ke rumah beliau di Padang Marapalam Lakitan untuk menggali sejarah uang Lengayang atau di kenal dengan pitih Kambang. Beliau menjelaskan secara rinci perihal uang Lengayang kepada saya untuk diterbitkan di Harian Umum Haluan. Sepenggal sejarah yang menarik bagi saya ketika itu.

Menurut beliau, satu-satunya kecamatan di Sumatera Barat yang memberanikan mencetak alat tukar atau mata uang sendiri adalah Lengayang, dan H. Buya Ruslinur adalah salah satu tokoh penting dalam pencetakan alat tukar tersebut.

Menurut Buya Ruslinur, perjuangan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) di Pesisir Selatan (dulu PSK) selama perang Kemerdekaan 1945 – 1949 berlangsung ditengah kemiskinan akibat penjajah. Perjuangan itu terasa sangat berat terutama untuk memobilisasi pejuang. Sementara dana untuk membiayai perang kemerdekaan melawan penjajah sangat minim. Rakyat yang miskin terus bahu membahu mendukung para BKR (Badan Kemanan Rakyat).

Pemerintah militer Jepang sangat otoriter bertindak sewenang – wenang. Padi rakyat setelah panen diambil begitu saja, baru saja selesai disabit atau dituai (panen) dipaksa untuk megantarkan ke gedung M.B.K di Pasar Kambang, tak peduli meski bulan puasa. Sapi rakyat diambil begitu saja untuk keperluan pestapora bangsa Jepang di markas militernya di Pasar Kambang.

Rakyat ketika itu makan sagu, makan pisang muda diiris kemudian ditanak dengan sedikit beras, makan ubi kayu gaplek. Kadang makan gadung celeng yang tumbuh di hutan seperti buah bengkuang, ukurannya sebesar tudung, ia mengandung racun. Untuk menghilangkan racunnya diiris tipis kemudian diaduk dengan abu dapur ditunggui selama tiga malam selanjutnya direndam di sungai selama lima malam, barulah racunnya hilang, setelah itu ditanak atau dibuat bubur.

Pakaian rakyat kebanyakan dari goni kasar, tarok dan goni halus. Ketika itu penyakit pokan dan campak berjangkit pula. Lengayang dan sekitarnya jadi pandemi. Banyak rakyat mati, tiap hari ada saja yang harus dikubut. Tuma dan kepinding mengisap darah dari pakaian tadi. Demikian sekelumit penderitaan anak bangsa di Lengayang Pesisir Selatan selama 3,5 tahun.

Setelah proklamasi kemerdekaan, kenagarian Kambang dan Lakitan terpisah dari Balai Selasa menjadi Otonom. Di masa Belanda dan Jepang segala urusan harus ke Balai Selasa misal Pos, Telephon, Pengadilan dan lainnya. Ketika berpisah menjadi otonom berdirilah Kecamatan Lengayang dengan Wali Otonomnya Husin St Ibrahim.

Dimasa Revolusi fasik, pemerintahannya berwujud militer, tidak seperti sekarang. Ketika itu pemerintahan memang terkesan angker, berwibawa, menakutkan dan represif. Bayangkan saja Gubernur disebut Gubernur Militer, Bupati disebut Bupati Militer, Camat Militer dan lebih hebatnya ditingkat nagari, walinya disebut Wali Perang.

Maka nagari Kambang Wali Perangnya Makripat Umar St. Ibrahim. DHN : H. M.Nur, Buya Dinar Khatib Sulaiman, Jamar Rajo Sutan, Syabirin, Zuki Bgd Sulaiman, H. Abdul Manan. Sementara DHN Lakitan Syuib Maha Rajo, Tamar Mandaro Basa, Makrifat Umar St. Ibrahim, Naru Lukman, Berok, Djair Khatib Mulia. Orang inilah yang membantu jalannya roda pemerintahan di Lengayang.

“Kita telah mewarisi pemerintahan yang miskin dari tangan Jepang, keuangan minus, rakyat melarat, persoalannya adalah dengan apa para penyelenggara pemerintah seperti pegawai, tentara, polisi digaji. Meminta kepada rakyat tidak mungkin rakyat sudah sengsara dan miskin,” katanya.

Maka dengan keputusan DHN dibentuklan Badan Penolong Kesengsaraan Korban Perang (BPKKP). Ketua BPKKP H. M.Nur, Sekretaris dan keungan Djamar Rajo Sutan. Petugas retribusi di Kambang Kirin Sutan Mangkudun dan di Lakitan Ilyas Bandaro Itam.