Lebaran Itu? Mudik, Rakik-rakik dan Enaknya Lamang di Sumatera Barat 

Mudik, Rakik-rakik, dan Lamang di Sumatera Barat 

Oleh: Muhammad Arif Efendi

KABATERKINI.Com – Penggalan syair lagu dari Band Gigi berjudul ‘Selamat Hari Lebaran’ menjadi penggugah bagi penulis untuk sedikit mengulas tradisi ‘mudik’ yang setiap tahun dilakukan masyarakat Indonesia.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ‘mudik’ berasal dari kata ‘udik’ yang mengandung makna dusun, desa atau kampung. Biasanya ‘udik’ terkesan cenderung berkonotasi negatif, bahkan sampai dikaitkan dengan kebodohan, kejumudan, ketertinggalan atau kampungan.

Padahal, dalam pengertian lebih luas, mudik bermakna mereguk kembali semangat kampung yang identik dengan gotong royong, kesetiakawanan, kebersahajaan, dan persaudaraan untuk dibawa lagi bila para pemudik kembali ke komunitas di mana mereka tinggal. Ada pula yang menyebut bahwa ‘mudik’ berasal dari bahasa Jawa Ngoko, yakni ‘mulih dilik’ yang berarti ‘pulang sebentar’.

Menurut Antropolog Universitas Gajah Mada (UGM), Prof Heddy Shri Ahimsa Putra, ‘mudik’ berasal dari bahasa melayu ‘udik’ yang artinya hulu atau ujung. Sebab, masyarakat Melayu yang tinggal di hulu sungai pada masa lampau sering bepergian ke hilir sungai menggunakan perahu atau biduk. Setelah selesai urusannya, mereka kembali pulang ke hulu pada sore harinya. Saat orang mulai merantau ke kota-kota besar, kata ‘mudik’ mulai dikenal dan dipertahankan hingga sekarang saat mereka kembali ke kampung halaman atau tempat kelahiran.

Sementara, pada laman situs Kementerian Perhubungan RI dijelaskan bahwa istilah ‘mudik’ mulai muncul pada 1970-an. Saat itu, Jakarta masih merupakan satu-satunya kota besar di Indonesia. Banyak orang dari berbagai daerah mengadu nasib ke kota Jakarta untuk mencari pekerjaan dan penghidupan yang lebih baik. Ada yang bekerja di kantor-kantor pemerintah, swasta, pabrik, industri, bahkan ada juga yang menjadi pengusaha.

Baca Juga  Kemenag Gelar Sidang Isbat Penetapan 1 Syawal Sore Ini, Bisakah Idul Fitri Serentak?

Bagi para perantau, kembali ke kampung halaman terlebih, saat lebaran, menjadi moment tersendiri dan mempunyai makna yang lebih, dan hal ini disebut dengan ‘mudik’. Mudik menjadi momentum terbaik bagi para perantau untuk melepas rindu dengan keluarga, sanak saudara di kampung halaman. Bahkan fenomena ‘mudik’ ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim saja, tetapi sudah menjadi tradisi tahunan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia.

Umumnya, orang memilih mudik sebelum Syawwal, tak menutup kemungkinan beberapa yang lain, memilih setelahnya. Pada dasarnya, mudik merupakan istilah umum yang disematkan pada mereka yang pulang kampung dan tidak terbatas pada periode waktu tertentu.

Setiap orang yang pulang kampung disebut mudik. Namun pada perkembangannya, mudik diartikan sebagai pulang kampung saat menjelang lebaran. Alasannya, lebaran merupakan momentum yang paling banyak dimanfaatkan untuk pulang kampung karena sering dikaitkan dengan perjalanan spiritual yang sarat makna, selain pemerintah juga biasanya menetapkan waktu libur nasional cukup lama.

Hingga pada akhirnya, jika kata mudik itu disebut, secara spontan masyarakat Indonesia akan membayangkan mudik lebaran dengan segala hiruk pikuknya yang menyita waktu, mulai dari perjalanan yang panjang, macet, berdesak-desakkan, panas, dan lain sebagainya. Tetapi, semua itu tidak mengurangi semangat masyarakat Indonesia untuk tetap mudik ke kampung halaman.

Baca Juga  Jalan Tol Padang Tersibuk Dibanding Tol Palembang dan Aceh saat Arus Mudik Lebaran

Masyarakat Indonesia yang terdiri dari banyak suku dan terbentang luas di banyak pulau-pulau, tradisi mudik ini menjadi daya tarik tersendiri baik dari sisi budaya, sosial, serta agama dan spritual. Primordialisme (kedaerahan) menjadi identitas yang begitu mengakar dan kuat. Siapa pun yang merantau pasti rindu pulang ke kampung dan berkumpul bersama sanak keluarga dan handai tolan. Seberapa pun jauhnya merantau, pada akhirnya seseorang akan kembali ke asalnya.

Pepatah mengatakan, “setinggi-tinggi bangau terbang, ia akan kembali ke sangkarnya”.

Tradisi mudik telah menjadi ritual bagi umat muslim Indonesia, tidak peduli ia berasal dari golongan kaya atau miskin, pekerja kantoran mau pun buruh pabrikan, atau bahkan pengepul asongan.

Berbagai alasan turut menyertai para pemudik, seperti rindu kampung halaman, sungkem kepada orangtua, silaturahmi dengan sanak saudara, dan berbagi kebahagiaan, kebersamaan dengan sesama.

Mudik sebenarnya adalah bentuk kebutuhan psikologis atau kebatinan. Di mana timbulnya dorongan keinginan dan kerinduan yang kuat untuk pulang menapak tilas tempat lahir dan tempat yang menyimpan memori dan masa lalu sebagai anak-anak hingga dewasa. Ini merupakan kerinduan psikologis-primordial.