KABATERKINI.Com – Situasi politik nasional mulai tegang, terutama di lembaga legislatif. Hal ini dipicu respon DPR tidak mengikuti putusan Makamah Konstitusi nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat partai dan calon kepala daerah pada Pilkada 2024.
DPR ngotot merevisi UU Pilkada melalui sidang paripurna hari ini, sehari pasca putusan MK Selasa kemarin.
Sejumlah pakar hingga eks hakim Mahkamah Konstitusi (MK) sepakat menilai manuver DPR yang merevisi Undang-undang Pilkada melangkahi putusan MK.
MK pada Selasa (20/8), mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 terkait syarat partai dan calon kepala daerah pada Pilkada 2024. Melalui putusan 60, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Partai yang tak memperoleh kursi DPRD, tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat presentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).
Syarat parpol dan gabungan parpol bisa mengusung paslon yaitu memperoleh suara sah dari 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung pada jumlah pemilih tetap di provinsi itu.
Sementara, lewat putusan 70, MK menegaskan penghitungan syarat usia minimal calon kepala daerah dilakukan sejak KPU menetapkan pasangan calon, bukan sejak calon terpilih dilantik. Namun, sehari setelahnya atau pada Rabu (21/8), DPR langsung menggelar rapat Baleg dan membentuk Panitia Kerja RUU Pilkada. Pembahasan RUU Pilkada itu dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam.
Dalam pembahasannya, DPR mengaku tidak akan mengikuti putusan MK terkait syarat usia minimum cakada.
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini menyebut manuver DPR itu sebagai pembegalan terhadap putusan MK soal perubahan syarat pencalonan kepala daerah. Titi juga menyinggung keputusan Baleg dalam rapat soal RUU Pilkada yang menyepakati bahwa perubahan syarat ambang batas di Pilkada Serentak 2024 hanya berlaku bagi partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPRD atau non parlemen.
“Padahal, tidak demikian bunyi putusan MK. Karenanya, jelas dan terang telah terjadi pembegalan atas amar Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024,” kata Titi melalui akun X (Twitter), Rabu (21/8).
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin juga mengkritisi langkah DPR dan menyebut sebagai pembegalan konstitusi.
“Tidak boleh DPR memutuskan merevisi undang undang yang bertentangan dengan putusan MK. Karena keputusan MK itu final dan mengikat harus dipatuhi,” kata Ujang melalui pesan suara.
Peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin mengatakan putusan MK bersifat final dan mengikat. Oleh sebab itu, DPR tidak bisa semena-mena mengubahnya.
“Final dan mengikat ini juga sudah ditekankan berlaku pada Pilkada 2024. Jadi, kebalik logikanya DPR,” kata Usep.
Menurut dia, DPR telah melanggar konstitusi karena telah menganulir putusan MK tersebut. “Iya, tidak sesuai konstitusi,” ujarnya.
Titi juga punya pandangan yang tak berbeda. Dia menilai jika RUU tetap disahkan dan ditindaklanjuti oleh KPU, maka Pilkada 2024 bisa dinyatakan inkonstitusional.